Modernis.co, Malang – Konsistensi Muhammadiyah dalam mencerahkan bangsa Indonesia tak bisa diremehkan. Pasalnya Muhammadiyah dan bangsa Indonesia seperti satu tubuh yang tak bisa dipisahkan. Salah satu konsistensi Muhammadiyah dalam mencerdaskan bangsa adalah komitmennya terhadap dunia pendidikan.
Namun, tantangan zaman terhadap dunia pendidikan akhir-akhir ini semakin kompleks, salah satunya adalah berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat yang merubah pola prilaku masyarakat. Bisa dibilang, berubah dari pola hidup tradisionalis ke modernis. Hal ini menuntut dunia pendidikan terutama pendidikan Muhammadiyah untukberpartisipasi merubah prosedur bahkan system pendidikan yang lebih terbuka terhadap dunia modern.
Perubahan pola masyarakat yang dijelaskan di atas, tentu menuntut perubahan juga terhadap sekolah-sekolah Muhammadiyah. Slogan “Islam Berkemajuan” dan “Gerakan Modernis” yang senantiasa dialamatkan kepada Muhammadiyah harus senafas dengan realitas kehidupan warga Muhammadiyah.
Berdirinya Gedung-gedung universitas megah dan mewah, serta kuantitas sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tersebar secara masif di berbagai daerah-daerah di Indonesia tidak menandakan bahwa itu bentuk berkemajuan atau modernis. Itu hanya bagian kecil dari kemajuan itu sendiri.
Sebelum melanjutkan tulisan ini, perkenankan saya menjelaskan poin-poin kecil Islam Berkemajuan gagasan Muhammadiyah yang di populerkan pada Muktamar ke 46. Jika tidak bisa dibilang penjelasan, paling tidak pengetahuan yang sedikit yang merepresentasikan penjelasan Islam Berkemajuan itu sendiri. Jika memang ada yang salah, mohon dimaklumin adanya.
Poin penting Islam Berkemajuan ini penulis ambil dari pemaparan yang pernah disampaikan oleh Prof Amin Abdullah pada Pra-Muktamar yang di selenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang, kata Islam berkemajuan memiliki empat poin penting;
Pertama, nilai tauhid nilai tauhid ini menurut prof Amin bukan hanya bersifat mengekang, tapi ada nilai librasinya (Libration). Tauhid itu tidak hanya mencakup aspek keimanan saja melainkan ada substansi yang lebih dari pada keimanan itu sendiri. Kata Prof Amin, keimanan yang mampu mengkombinasikan antara ar-ru’yah al-ilahiyyah (nalar teologis), ar-ru’yah al-falsafiyyah (nalar filosofis), dan al-qiyam al-asasiyyah (nalar etis). Gampangnya, jangan jadikan keimanan itu bersifat teologis saja, karena jika Iman hanya mencangkup satu nilai saja yang terjadi adalah sektarianisme keberagamaan.
Kedua, visi peradaban, Islam itu sendiri dalam praktinya, Nabi Muhammadad saw mencontohkan bagaiamana membangun sebuah peradaban, contohnya, perubahan nama kota Madinah dari Yatsrib itu sendiri sudah menjadi bukti bahwa Muhammad ingin nilai dan cita-cita Islam tumbuh di kota ini. maka menurut Prof Amin Abdullah harus ada ar-ru’yah al-hadharah (visi peradaban). Visi peradaban ini harus dinamis, tidak kaku dan harus berubah dan senafas dengan perkembangan zaman.
Ketiga, strategi keilmuan, dalam strategi keilmuan ini Prof Amin menyampaikan perlunya multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin. Beliau juga menegaskan jika berpikir monodisiplin/linieritas keilmuan tidak akan berkembang. Yang terkahir adalah perlunya pembaharuan aplikasi manhaj. Soal ini –dalam pemahaman saya— harus adanya keterbukaan atau Inklusifitas dalam menentukan sebuah hukum, jangan tekstual tapi kontekstual. Maksudnya tetap merujuk pada dalil-dali Al-quran dan sunnah kemudian meselaraskan dengan perkembangan yang terjadi.
Poin terakhir inilah yang menjadi perhatian saya dalam tulisan ini. kata kuncinya adalah inklusifitas. Yakni keterbukaan dalam menentukan suatu hukum (fatwa) sehingga menghasilkan pandangan yang wasathiyah/ moderasi. Masalahnya, bagaimana menerapkan dengan menyederhanakan dalam praktik Pendidikan Agama Islam? Apakah semangat “Islam Berkemajuan” juga diterapkan dalam pembelajaran di sekolah-sekolah Muhammadiyah?
Aplikasinya dalam PAI
Jika merujuk pada Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007, ada perbedaan yang cukup signifikan tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dijalsakan dalam peraturan pemerintah; Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Sedangkan Pendidikan Keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Jadi di sini jelas, Pendidikan Agama Islam itu sejatinya pengetahuan agama Islam yang disederhanakan dalam bentuk mata pelajaran, seperti Fikih, Qura’an Hadits, Sejarah Kebudayaan Islam, Akidah Akhlak, dan Bahasa Arab (Jika yang ini termasuk).
Al Islam dan Kemuhammadiyahan
Dalam konteks Indonesia ada istilah yang cukup signifikan membedakan antara sekolah dan madrasah. Secara umum, pemahaman sekolah dalam konteks budaya pendidikan di Indonesia, dalam penerapan kurikulumnya “sekolah” lebih mendominasi pengetahuan umum hanya sedikit pengetahuan agamanya, karena tidak bisa dipungkiri jika sistem sekolah yang kita kenyam hari ini adalah produk pendidikan ala Barat.
Kendati demikian definisi ini tentu tidak dapat dijadikan acuan. Sedangkan “Madrasah” sendiri, sejatinya bentuk transformasi lembaga pendidikan Islam ala Indonesia seperti sorogan, surau, pesantren yang mengalami perubahan dalam konteks kultur pembelajaran maupun kurikulumnya. Belum lagi jika kita ingin membedakan definisi “Pesantren.”
Dalam konteks penjelasan di atas, Muhammadiyah memilki dua kultur sekolah dan madrasah di Indonesia yang tersebar di berbagai daerah. Tanpa harus penulis sebutkan jumlahnya, itu sudah menjadi rahasia umum. Bahkan, Muhammadiyah sendiri memilki acuan khusus untuk mengenalkan pemahaman Islam dan Muhammadiyah dengan Istilah Ismuba (Al-Islam dan Muhammadiyah) puls Bahasa Arab. Namun, kembali lagi, apakah muatannya itu sudah mencerminkan semangat Islam berkemajuan?
Istilah Al Islam dan Kemuhammadiyahan atau AIK atau Ismuba (ditambah B. Arab) sejauh pemahaman dan pengalaman penulis mengajar hanya diterapkan di “sekolah” Muhammadiyah. Sedangkan “Madrasah” Muhammadiyah tidak menggunakan Ismuba, mengingat PAI menjadi rumpun mata pelajaran yang terpisah-pisah, seperti Fikih, Quran Hadits, SKI, Akidah Akhlak dan B Arab.
Hal ini terkadang –dalam pengalaman penulis—menjadi rancu, ekskulisif dan terkadang banyak tidak mencerminkan spirit Islam ala Muhammadiyah, karena acuan buku mata pelajaran yang berbeda-beda. Apa masalahnya? Adalah penggunaa buku pelajaran yang belum dirumuskan oleh Piminan Muhammadiyah baik di daerah maupun wilayah. Jika pun diberlakukan untuk membuat modul sendiri-sendiri, akan sulit rasanya, mengingat beban administrasi guru yang menumpuk. Untuk itu harus ada alternatif lain.
Bagi penulis, ada hal yang memungkinkan jika semangat Islam Berkemajuan bisa diterapkan dalam Pendidikan Agama Islam. Ciri Islam Berkemajuan yang dijabarkan di atas oleh Prof. Amin Abdullah menurut penulis tentu perlu disederhanakan terutama soal pemahaman keagamaan Islam yang senantiasa relevan dengan semangat zaman dan spirit moderasi beragama ala Muhammadiyah.
Ini memungkinkan jika: 1. Membentuk kelompok MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) khusus Ismuba dan Kemuhammadiyahan, tradisi ini menjadi penting jika diberlakukan di setiap daerah. Dalam rangka menyederhanakan, menyatukan persepsi terhadap bahan ajar. Nampaknya, di beberapa daerah belum banyak diterapkan. Alasannya banyak, salah satunya karena Kemuhammadiyahan bukan menjadi pelajaran pokok melainkan hanya menjadi mapel Mulok (Muatan Lokal) yang kalah pentingnya dengan Matematika, IPA, B Inggris dll;
2. Pola pengajarannya yang harus mulai dengan mengenalkan kultur Muhammadiyah di daerah di mana sekolah atau madrasah Muhammadiyah berada. Misalnya, mengajak/ mengunjungi dan memperkenalkan pusat kegiatan Muhammadiyah seperti kantor PDM, PWM, Pusat bahkan ranting sekalipun.
Saya bisa jamin,guru-guru Muhammadiyah tidak banyak yang mengenal ketua ranting di desa-desa di mana Muhammadiyah berada kecuali segelintir orang saja. Alasannya karena memang tidak dikenalkan dan tidak mau kenal. Alasan ini menjadi logis mengapa peserta didik di sekolah Muhammadiyah tidak mengenal Muhammadiyah secara utuh.
Oleh : Baiturrahman (Buruh Lembaga Pendidikan dan Pegiat Literasi di PeaceLink Malang)